(Sinema) Habibie Dan Ainun : Kala Kita Diajarkan Patriotisme Yang Sesungguhnya

“17.000 pulau, Ainun! Terhubung dengan transportasi yg murah, aman. Bangsa ini bisa jadi Bangsa yg mandiri!”

Dialog diatas yang disampaikan Pak Habibie kepada Ibu Ainun di hanggar pesawat dengan background seonggok pesawat pertama buatan Indonesia yang terlihat tak terawat seakan menyiratkan kelelahannya untuk meneruskan pengabdian dan cita-citanya membawa bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Dialog itu seakan membawa Pak Habibie ke akhir dari langkahnya untuk Republik ini dan melangkah kesamping untuk membagi lebih banyak hidupnya untuk keluarganya istri dan anaknya, hal yang selama ini telah banyak dikorbankannya.

habibie-ainun

Entahlah bagaimana dengan Anda, tapi adegan ini bisa dibilang adegan yang paling membuat hati saya yang menontonnya bergemuruh menahan sedih, kesal, marah yang bercampur menjadi satu. Adegan yang seakan menggambarkan matinya semangat seorang patriot sejati negeri ini .

Film Habibie dan Ainun yang diangkat dari buku biografi dengan judul yang sama seakan betul-betul memperlihatkan dan membuka lebar-lebar mata bangsa ini akan sosok Burhanudin Jusuf Habibie atau biasa dipanggil Rudi mantan presiden ke-3 Republik Indonesia, orang paling jenius yang pernah (dan masih, sampai saya menulis tulisan ini) dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Bila orang banyak melihat film ini dari sisi romantisme antara Pak Habibie dan Ibu Ainun yang menggambarkan cinta sejati dan manunggal antara dua insan manusia, saya justru melihat film ini lebih membuka mata saya akan patriotisme Pak Habibie dalam mencurahkan hampir seluruh hidup dan kemampuannya untuk memajukan bangsa Indonesia mengalahkan kemewahan dan kehidupan yang lebih baik yang seharusnya bisa didapatnya di Jerman daripada berpusing-pusing membangun negaranya.

Dalam film ini bisa dibilang ada dua babak cerita, babak pertama menggambarkan perjuangan Pak Habibie dalam mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk menggapai cita-citanya menjadi insinyur pembuat pesawat di Jerman sampai akhirnya dipanggil pulang untuk terjun membangun negaranya Indonesia. Dalam babak ini bisa dibilang keluarga adalah urusan nomor sekian dari kehidupan Pak Habibie.

Babak selanjutnya menceritakan dimana akhirnya Pak Habibie merasa selesai (walaupun terpaksa) dengan sumbangannya untuk negeri ini dan kemudian menjadikan keluarga urusan nomor satu dalam kehidupannya. Kembali ke keluarganya yang selama ini selalu setia dan mengerti walaupun menjadi urusan nomor sekian dari kehidupan Pak Habibie.

Saya bisa dibilang salah seorang pengagum berat dari Pak Habibie dan mungkin tulisan saya terlihat subyektif dalam menilai film ini, namun saya kira hampir seluruh masyarakat Indonesia yang menonton film ini setuju, Pak Habibie adalah Patriot sejati bangsa ini. Memang ada masa ketika dia harus melepaskan Timor Timur dari Indonesia setelah ribuan prajurit bangsa ini gugur di sana, namun bila dilihat lebih luas dan tanpa sedikitpun menghilangkan kebanggaan pada para prajurit yang gugur disana, tindakan yang diambil pak Habibie untuk melakukan referendum di Timor Timur memang sudah seharusnya dilakukan, hal yang kita pun akan menuntut hal yang sama bila ada di posisi sebagai rakyat Timor Timur.

Namun untuk Anda yang tidak suka melihat hal patriotisme pak Habibie dalam film ini, sisi romantisme Pak Habibie dan Ibu Ainun juga satu hal yang bisa menyayat hati setiap orang yang menontonnya. Terus terang Ibu Ainun juga merupakan salah satu tokoh yang dikagumi oleh saya, selama ini saya mengenalnya sebagai tokoh yang selain anggun tapi juga ramah, tapi di film ini saya bisa melihat sisi lain Ibu Ainun yang lebih luas dimana saya bisa melihat kesabarannya dalam mendampingi suami dalam situasi yang sesulit apapun, Subhanallah. Dan ketika sampai pada adegan Ibu Ainun menutup mata saya kira itulah adegan puncak dimana seluruh gedung bioskop menjadi banjir lautan airmata.

Reza Rahardian bermain sangat sempurna memerankan tokokh Pak Habibie, walaupun secara visual ketika Habibie menjadi tua seharusnya penampilannya bisa lebih menyesuaikan (dibotakin kepalanya mungkin hehehe… ) . Bunga Citra Lestari juga bermain baik sebagai Ibu Ainun walaupun tidak bisa dibilang luarbiasa. Satu hal yang sedikit mengganjal dalam film ini mungkin penampilan Pak Habibie dan Ibu Ainun yang kurang detail ketika usianya beranjak menua. Bila hal ini bisa digarap lebih detail mungkin film ini akan menjadi film yang jauh lebih sempurna.

Tapi diluar semua itu, menurut saya film ini luar biasa dan wajar kalau sampai saat ini sudah ditonton oleh jutaan pasang mata warga negara Indonesia tua dan muda bahkan oleh mereka di kota-kota kecil seperti di Jember dimana saya tinggal saat ini, dimana biasanya bioskop sepi dan hanya didatangi oleh anak muda saja.

Terima kasih Pak Habibie dan Ibu Ainun telah mewariskan keteladanan yang hampir musnah di Republik ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *